Rabu, 19 Januari 2011

Geneologi Kekerasan Bermotif Agama di Indonesia

Oleh Irma Tazkiyya

INDONESIA, kini, bisa dikatakan sebagai sebuah negara yang paling banyak kebanjiran konflik. Mulai awal 2008 sampai bulan Juni ini, hampir sudah tak terhitung kasus yang mencuat di media massa. Sampai badan hukum pun terlihat kebingungan menanganinya. Karena konflik satu belum selesai, disusul konflik yang baru lagi.
Aksi anarkis 1 Juni yang dilakukan oleh Front Pembela Islam (FPI) dan Komando Laskar Islam (KLI) terhadap Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB) adalah potret betapa peliknya konflik kekerasan di negeri ini.
Sebagian orang mungkin bertanya, kenapa hal tersebut bisa terjadi? Dan kenapa pula yang melakukan tindak kekerasan tersebut adalah orang-orang yang mengatasnamakan sebagai pembela agama.
Tentunya hal ini menimbulkan ketidaksingkronan. Sebab, kalangan yang sebenarnya menjadi figur yang diteladani dan mengklaim dirinya sebagai pembela agama, ternyata berbalik menjadi pengusung keonaran.
Bila kita bercermin pada kondisi Indonesia kini, kekerasan akan bisa dilakukan siapa saja, tidak hanya kalangan yang mengatasnamakan agama. Sebab, di sini akan rentan terjadi konflik, jika masalah-masalah yang vital belum juga terpenuhi.
Secara psikologis tindakan kekerasan terjadi bukan hanya karena ingin melakukan pembelaan atau melakukan misi tertentu. Tetapi latar belakang kondisi juga sangat memengaruhi seseorang melakukan tindak kekerasan. Setidaknya, kita bisa melihat beberapa hal, berkaitan dengan hal tersebut.
Pertama, kondisi ekonomi yang lemah akibat sempitnya lapangan pekerjaan, akan menyebabkan mental warga ini menjadi keras dan mudah emosi serta mencari pelampiasan- pelampiasan pada hal lain.
Kedua, pendidikan yang rendah juga akan memudahkan seseorang melakukan tindakan-tindakan yang tidak menggunakan akal sehat. Sebab, dengan pendidikan yang rendah, cara berfikir mereka pun akan sempit sehingga tindakan-tindakan yang dilakukan tidak melalui pemikiran yang matang terlebih dahulu. Masyarakat Indonesia yang masih rendah dalam bidang pendidikan ini, tentunya sangat mudah untuk digerakan kepada hal-hal yang tidak tepat, semacam anarkisme dan lain sebagainya.
Ketiga, aparat negara yang kurang tegas. Melemahnya hukum di negeri ini juga akan mengakibatkan hilangnya kepercayaan masyarakat dan sebagai dampaknya mereka akan melakukan penghakiman sendiri. Mungkin ini adalah bentuk prustasi masyarakat terhadap kekuatan hukum negara kita.
Sekarang, siapa sebenarnya yang harus disalahkan? Apakah pihak FPI dan KLI? ataukah AKKBB? Tentu, persolan salah menyalahkan, bukanlah hal yang relevan melihat realitas negeri yang sudah seperti ini. Yang terpenting adalah kita harus belajar dari itu semua; introspeksi diri, lebih-lebih mereka yang berwenang di negeri ini. Sebab, segala sesuatu terjadi itu pasti ada akar permasalahnya. Dan akar permasalahan tersebut kuncinya ada di tangan negara.

Amnesia Beragama
Menurut Habib Rizieq – ketua umum Front Pembela Islam (FPI), bahwa Posisi FPI menjadi semacam Pressure Group di Indonesia. Tujuannya untuk mendorong berbagai unsur pengelola negara agar berperan aktif dalam memperbaiki dan mencegah kerusakan moral dan akidah umat Islam, serta berinisiatif membangun suatu tatanan sosial politik dan hukum yang sejalan dengan nilai-nilai syariat Islam.
Ketua umum FPI ini, seharusnya melihat landasan hukum yang ada di negara Indonesia. Mengingat karakteristik bangsa yang majemuk. Pembentukan organisasi yang berdasarkan syariat Islam dan bukan Pancasila inilah yang menjadikan bergulirnya wacana pemerintah Indonesia untuk membubarkan Ormas Islam yang bermasalah.
FPI yang mempunyai visi dan pandangan bahwa penegakan amar ma’ruf nahi munkar adalah satu-satunya solusi untuk menjauhkan kezhaliman dan kemungkaran. FPI berkeinginan untuk menegakkan amar ma’ruf nahi munkar secara tekstual di semua segi kehidupan manusia. Dengan tujuan menciptakan umat yang hidup dalam negeri yang baik. Dan dengan mengharapkan limpahan keberkahan dan keridhoan-Nya.
Dilihat dari fenomena yang terjadi sekarang, apa yang telah diperbuat mereka sama sekali tidak menjunjung visi tersebut. Menurut FPI motif untuk memperjuangkan syariat Islam adalah langkah yang sah. Sedangkan aksi-aksi untuk memperjuangkannya diupayakan untuk tetap tunduk pada hukum yang berlaku di Indonesia. Penuturan ini jauh dari realita yang ada. Bahwa setiap kali FPI melakukan aksi-aksi penertiban terhadap kegiatan-kegiatan yang dianggap maksiat atau bertentangan dengan syariat Islam, seringkalai berujung dengan kekerasan. FPI menjadi sangat terkenal karena aksi-aksinya yang kontroversial sejak tahun 1998. Terutama yang dilakukan oleh laskar militernya, yakni Laskar Pembela Islam.
Rangkaian aksi penutupan klab malam, tempat pelacuran dan tempat-tempat yang diklaim sebagai tempat maksiat, ancaman terhadap warga negara tertentu, penangkapan (sweeping) terhadap warga negara tertentu, konflik dengan organisasi berbasis agama lain adalah wajah FPI yang paling sering diperlihatkan dalam media massa. Tindakan FPI sering dikritik berbagai pihak karena tindakan main hakim sendiri yang berujung pada perusakan hak milik orang lain. Walaupun FPI membawa nama agama Islam, pada kenyataannya tindakan mereka bertentangan dengan prinsip dan ajaran Islam, bahkan tidak jarang menjurus ke vandalisme.
Memang sangat berat bagi sebagian hamba Allah untuk menerima perbedaan. Tetapi juga lebih berat lagi bagi sebagian orang untuk menerima kenyataan bahwa tidak ada tempatnya mengedepankan kekerasan dalam menyikapi sebuah permasalahan. Ketika saya melihat tanyangan televise, sungguh memalukan, untuk alasan apa pun tidak sepatutnya FPI melakukan kekerasan. Karena itu semua jauh dari ajaran Islam. Saya lihat sepak terjang FPI memang jauh dari ajaran Islam yang sesungguhnya. Sikap anarkis dengan membawa nama Islam akan mencoreng nama Islam tersebut. Kita boleh berprinsip keras, tetapi bukan anarkis. Seharusnya kalimat inilah yang harus dilontarkan FPI.
Inilah amnesia beragama. Ada sebagian unsur-unsur umat beragama yang sangat esensial dan masih dilupakan. Sehingga niat baik untuk menyebarkan dakwah Islam terkotori oleh emosi rendahan. Bukankah jika emosi mengalahkan logika akan banyak madharatnya?
Toleransi pada umat beragama hendaknya difokuskan pada upaya-upaya mencari pola untuk saling menghormati atas perbedaan yang ada tanpa rasa permusuhan. Dan ini jelas terkandung dalam kitab suci umat Islam Alquan. “Untukkmu agamamu, dan untukku agamaku” (QS AlKafirun).
Kita harus meneropong posisi dan potensi Islam dalam perspektif yang benar dan adil. Inilah prasyarat utama memahami motif aksi dan reaksi umat Islam terhadap berbagai persoalan sosial dan politik. Islam bukanlah agama yang mengajarkan nilai-nilai permusuhan dan kebencian, apalagi anarkisme dan terorisme. Sebaliknya Islam mengajarkan nilai-nilai akhlakul karimah universal; nilai-nilai baku moral yang kompatibel yang bias diaplikasikan bagi seluruh umat manusia.
Dalam kitab suci umat Islam, Al-Quran, dinyatakan bahwa keberadaan Islam di muka bumi ini merupakan rahmat (kebaikan) yang bisa dinikmati semua makhluk yang ada di alam semesta ini (rahmatan lil alamin). Nilai-nilai ajaran Islam juga mencakup wilayah kebaikan yang sangat luas. Mulai dari petunjuk cara bersosialisasi yang lebih baik, nilai-nilai akhlak yang memuliakan esensi hidup manusia, sistem politik dan hukum yang adil, pola perdagangan yang adil hingga konsep pengelolaan energi dan lingkungan hidup yang berkesinambungan.
Kehadiran gerakan Islam terjadi karena adanya ketidakadilan yang dialami umat Islam dan adanya gerakan-gerakan lokal dan global yang mengancam nilai-nilai akidah (keimanan) umat Islam. Upaya pembelaan umat Islam secara terorganisasi merupakan hal mendesak yang dilakukan karena globalisasi saat ini sudah menjelma menjadi penjajahan gaya baru. Melalui upaya-upaya pemaksaan sistem politik, budaya, dan sosial pada bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Upaya-upaya pengrusakan yang dilakukan umat Islam sendiri perlu dihadapi dengan tegas. Misalnya upaya pembiasan makna pluralitas atau upaya liberalisasi ajaran Islam. Islam sangat menghargai adanya pluralitas dalam hubungan sosial antar berbagai bangsa termasuk hubungan sosial antar umat beragama. Wallahu ‘alam.


Irma Tazkiyya
- Mahasiswa UIN Jakarta, semester 4
- Ketua Umum Pimpinan Komisariat DISTEKPERTUM IMM Ciputat

Tidak ada komentar:

Posting Komentar